Dare Towards Excellence

Negara Tanpa Pemerintahan

09/11/2013 10:28

 

Oleh: Subandi Rianto*

Pengamat Sosial, Alumni FIB Universitas Airlangga

 

                Budayawan Radar Panca Dahana pernah berkata, "Kalaupun pemerintah gembar-gembor soal naiknya pertumbuhan ekonomi, krisis finansial global maupun kemajuan demokrasi. Sementara disisi lain, korupsi dan diskriminasi penegakan hukum terjadi dimana-mana. Antara klaim dan kondisi realitas yang terjadi sangat timpang. Bagi seorang Budayawan semacam Radar, Rakyat akan tetap hidup, tetap akan berdiri tanpa klaim pemerintah dan tetap akan melanjutkan kehidupan dengan rasa aman. Secara sosial, pernyataan Radar ada benarnya. Rakyat bisa hidup tanpa bantuan pemerintah. Petani-petani mampu mengelola tanah untuk makanan sehari-hari dengan kepercayaan Marhaenismenya. Pedagang soto, mie ayam, dan nasi akan tetap berjalan walaupun kudeta terjadi di ibukota Jakarta. Atau manakala presiden dan kabinet hanya menjalanakan fungsi seremonial, rakyat akan tetap hidup. Pernyataan Radar berangkat dari keprihatinan negara memahami rakyatnya secara parsial ketika membaca perubahan sosial.

Negara selalu menjadi bagian paling dominan dalam segala hal yang mengatur kehidupan masyarakat. Entah ekonomi, politik, agama, budaya sekalipun selalu menjadi lahan intervensi yang meminggirkan peran aktif masyarakat. Sektor-sektor demikian akan selalu menjadi jualan negara dalam meraih elektoral simpati masyarakat. Terutama oleh partai politik yang menjadi penguasa, klaim-klaim keberhasilan akan selalu dijual setiap tahun. Pemerintah sebagai pemegang kuasa seringkali membuat hal-hal yang parsial menjadi umum, atau sebaliknya. Jika krisis finansial menimpa bursa efek negara, Pemerintah selalu khawatir akan masa depan negara. Padahal bursa efek hanya sekian persen dari sistem kapitalisme yang mencengkeram negeri ini. Di luar sana, banyak rakyat kecil bisa hidup tanpa bantuan bursa efek. Rakyat tetap hidup dengan pranata-pranata ekonomi gotong-royongnya. Sisi lain inilah yang kadang terlupakan oleh penguasa.

            Namun, dalam konteks politik, pemerintah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kontrak politik berdirinya negara. Benedict Andersen menulis dalam "Imagined Community" bahwa berdirinya negara merupakan kesepakatan antara masyarakat dan pemegang mandat masyarakat. Sederhananya merupakan kontrak antara pemberi suara dalam pemilu dan politisi pemenang (baca: pemerintah). Ben (panggilan akrab Benedict Andersen) mengarisbawahi, apabila kontrak tersebut gagal dicapai, maka akan terjadi penataan ulang dalam konsep bernegara. Penataan itu tidak main-main, bisa berbentuk revolusi atau reformasi. Indonesia mengalami reformasi di tahun 1996 dan 1998 tatkala pemegang mandat (Pemerintahan) gagal memenuhi kontrak dengan masyarakat. Masyarakat sebagai partner kontrak pemerintah berhak melakukan penataan dengan menggulingkan pemerintahan, baik melalui aturan-aturan yang telah ditetapkan ataupun belum ditetapkan.

            Jatuhnya Presiden Soekarno disebabkan negara gagal menstabilkan ekonomi. Walaupun krisis ekonomi paling parah terjadi di kota-kota besar. Gerakan penggulingan Soekarno juga hanya terjadi di kota-kota besar. Bagaimana dengan rakyat? mereka masih tetap hidup walaupun ibukota rusuh. Puluhan tahun kemudian, saat reformasi 1998 Presiden Soeharto dijatuhkan akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Gerakan reformasi berkembang di kota-kota besar. Sisanya, dikota-kota kecil rakyat tetap bisa hidup walaupun pemerintah jatuh. Secara umum, kondisi rakyat di dua periode reformasi masih lebih baik ketimbang saat Pendudukan Balantentara Jepang.

            Pemerintah dalam konteks hari ini lebih senang mengkalkulasi kesejahteraan dalam bentuk-bentuk material. Menjadi sales liberalisasi sumber daya dalam KTT APEC dengan dalih kesejahteraan rakyat. Memperpanjang kontrak-kontrak karya secara berkelanjutan serta lebih senang menaikkan citra ketimbang memperluas akses pranata ekonomi kemasyarakatan. Serta memilih untuk mensejahterakan sistem ekonomi yang berpihak pada pemegang modal, terlihat dari betapa senangnya Indonesia dijadikan negara tujuan investasi oleh pengusaha-pengusaha asing.

            Tanpa harus melawan mainstream yang diciptakan oleh pemerintah. Pranata ekonomi sejatinya telah ada di tengah masyarakat Indonesia. Seperti yang diupayakan oleh Prof. Mubyarto dari UGM, akademisi yang bersuara agar pemerintah lebih fokus mengembangkan sistem ekonomi pancasila (ekonomi kerakyatan). Sistem ekonomi yang bertumpu pada gotong royong, mensejahterakan anggota, memunculkan sikap toleransi dan tenggang rasa sesama serta mampu membangun modal sosial bagi terbentuknya struktur sosial yang lebih kuat. Mubyarto sendiri mengakui, bahwa konsep ekonomi kerakyatan berasal dari Pancasila yang digali dari nilai luhur masyarakat.

            Satu hal paling tragis dalam pemerintahan hasil reformasi adalah terpinggirnya kaum marginal. Kaum marginal hanya menjadi jualan politik, eksploitasi sosial dan dianggap sebagai nilai statistik semata. Pemerintah lebih bangga menyaksikan masyarakat miskin antri sembako atau BLSM ketimbang menjadikan mereka sebagai pengusaha baru. Atau menjadi bagian dari publikasi politik bahwa pemerintah selalu bersama kaum marginal. Tiap hari, surat kabar penuh gambar-gambar para pejabat yang menyantuni orang miskin. Aspirasi politik dan saluran pendidikan dibuka hanya untuk sekedar jajanan politik semata.   

            Pemerintah sering lupa bahwa gerakan-gerakan sosial yang tumbuh dari masyarakat marginal bisa lebih dahsyat ketimbang gerakan politik. Gerakan-gerakan yang terorganisir atas ketidakpuasan, keprihatinan serta macetnya akses distribusi materi kepada semua lapisan masyarakat Indonesia bisa menimbulkan gejolak sosial yang amat besar. Mantan Presiden B.J. Habibie disaat konflik sosial 1998 mengingatkan agar gejolak sosial segera berhenti. Habibie tahu, bahwa gejolak sosial yang terus-menerus akan menyebabkan negara pada balkanisasi (perpecahan negara). Serta mengulang kembali teori politik Benedict Andersen bahwa akan ada kontrak baru lagi untuk penguasa yang baru.

            Perlu diingat, semua presiden Indonesia jatuh sebelum masa pemerintahannya berakhir. Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (kecuali Habibie dan Megawati karena hanya presiden pengganti) melepas kursi kepresidenan karena gejolak sosial menuntut perubahan kontrak politik baru. Presiden kita hari ini, tinggal ratusan hari masa pemerintahannya, dan tidak ada yang bisa menjamin apakah rakyat akan menagih janji dan meminta kontrak politik baru. Semua menunggu waktu. 

Search site

Contact

Subandi Rianto INTEGRITAS Institute
Gubeng Kertajaya I1 No 21 Surabaya

Twitter: @subandirianto
FB : subandi rianto
Web: www.subandirianto.com
Pin BBM 7D3B001C

BEM Seluruh Indonesia

File Pra-Rapat Koordinasi Nasional Aliansi BEM Seluruh Indonesia Tahun 2012

formulir pendaftaran.docx (754631) proposal rakernas bem si 2012.pdf (608185) surat permohonan delegasi.pdf (394953)  

BEM SI dan Kemajuan Jawa Timur.

BEM SI dan Kemajuan Jawa Timur.

              Ada nuansa tersendiri, seminggu yang lalu saat saya bersama pengurus BEM KM UNAIR silaturahmi kepada Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo, M. Hum. Beliau secara sekilas memaparkan bahwasanya pemerintah sangat membutuhkan...