Dare Towards Excellence

Demokrasi Sepatu Lars: Membedah Intervensi Militer atas Pemerintahan Sipil Presiden Soekarno 1955-1996

13/08/2013 21:29

Dari atas panggung, presiden republik yang dikenal tegas dan pintar beretorika itu. Dengan pandangan tajam mengkritik habis mengenai keterlibatan militer dalam politik. Militer atau angkatan perang seharusnya mengurusi masalah keamanan nasional dan pertahanan negara. Sehingga netralitas angkatan perang akan lebih teruji. Pidato yang penuh semangat itu dikumandang dalam peringatan HUT Republik Indonesia di tahun 1963. Delapan tahun setelah pemilu pertama Republik Indonesia berhasil dilaksanakan dibawah kabinet Burhanuddin Harahap. Banyaknya partai-partai politik membuat deru kepentingan seakan menjejali segenap sudut-sudut negara. Tak terkecuali supremasi militer dalam mengamankan kepentingannya.

            Pemilu 1955 yang dimenangkan oleh empat partai besar; PNI, Masyumi, NU dan PKI membuat bandul pemerintahan bergeser kearah parlemen. Silih berganti kabinet-kabinet pemerintahan didirikan di parlemen dengan dinamika seteru-sekutu antara empat partai terbesar.  Manakala sipil sibuk menata sistem pemerintahan, maka pihak militer juga mempersiapkan kontrol ketat atas pemerintahan sipil. Relasi keseimbangan antara sipil dan militer sejatinya sudah dimulai sejak kabinet awal pemerintahan Soekarno dibentuk. Jajaran kabinet awal mengakomodasi angkatan perang dalam pos Men/PangAU, Men/PangAD, Men/PangAL. Komposisi kabinet yang sedemikian sengaja dikombinasikan agar tugas utama angkatan perang dapat terkontrol dengan baik. Sayangnya relasi sipil dan militer berubah menjadi kenangan pahit tatkala parlemen dan militer saling bersengketa di kemudian hari.

            Dimulai dari ide untuk mengadakan reformasi di tubuh militer Indonesia. Para politisi mengusulkan adanya sebuah sistem baru bagi pembersihan (reformasi) di tubuh birokrasi militer Indonesia. Ide parlemen tersebut kemudian dijawab militer dengan sangat ekstrem. Bahkan militer malah mengalami perpecahan dalam menanggapi usulan politisi yang notabene sipil tersebut. Puncak perseteruan antara militer dan parlemen berujung pada penggoyangan pemerintahan Soekarno. Jenderal AH. Nasution selaku Kasad melakukan “sedikit” makar dengan mengepung istana negara dengan persenjataan militer lengkap. Segala tank dan meriam militer diarahkan ke istana negara. Menuntut Soekarno membubarkan parlemen dan mengadakan pembentukan parlemen ulang. Namun, Soekarno bukanlah presiden kemarin sore yang takut dengan gertak sambal murahan. Soekarno melihat adanya “makar” tanpa tujuan jelas ini kemudian keluar istana dengan sikap wibawanya. Berdiri diantara moncong-moncong tank dan meriam, Soekarno secara tegas menolak permintaan militer dan menyatakan siap memberikan dadanya untuk melindungi istana negara. Bagi Soekarno, parlemen merupakan salah satu power sharing dalam membentuk iklim demokrasi dan penjaga relasi sekutu-seteru antara sipil dan militer. Praktis, usaha awal militer dalam menancapkan relasi di tubuh pemerintahan sipil mengalami kendala yang cukup berarti dengan penolakan Soekarno tersebut.

            Bila penulisan sejenis pada umumnya membahas supremasi militer di zaman Soekarno dan Soeharto. Maka, esai ini akan lebih menyoroti latar belakang mengenai menguatnya supremasi militer pada pemerintahan perdana Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Sesungguhnya semua bermula saat rakyat Indonesia berusaha meraih cita-cita kemerdekaan melalui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang didengungkan 17 Agustus 1945. Seluruh elemen masyarakat kemudian berubah menjadi sangat revolusioner dalam mempertahankan perjuangan tersebut. Mengikuti apa yang disampaikan Perdana Menteri Syahrir, bahwa revolusi Indonesia tidak akan berhenti pada cita-cita kemerdekaan saja. Tetapi kemandirian bernegara, ekonomi, sosial dan politik menjadi tujuan akhir daripada kemerdekaan itu sendiri.

            Sejenak mengingat era 1950-an. Segala elemen perjuangan berubah menjadi “tentara semu” yang berusaha mengamankan negara dari berbagai intervensi asing. Titik tolaknya berawal dari keprihatinan Muhammad Hatta saat melihat kondisi carut-marutnya birokrasi militer di Indonesia pasca penjajahan. Banyak tentara rakyat, eks-pensiunan militer dan laskar-laskar menjadi tidak terkontrol  keberadaannya. Maka, saat terjadi Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Delegasi Indonesia menyetujui tawaran Pemerintah Belanda untuk melakukan “modernisasi” angkatan perang Republik Indonesia (APRI) dari tentara revolusi menjadi TNI yang profesional. Salah satu delegasi Indonesia yang juga Ketua Komisi Militer KMB, Kolonel T.B. Simatupang mendapat kritik keras dari masyarakat karena kebijakan tersebut secara ideologis menodai pesan penting Panglima Soedirman.

Sebelumnya, Kepala Staf APRI (Waktu itu APRIS), Pangsar Soedirman sebelum wafat pernah mewanti-wanti bahwa segala urusan militer negara hendaknya diselesaikan di Yogyakarta (ibukota negara) dibandingkan di luar negeri. Pesan Soedirman dinilai sangat penting untuk menjaga militer agar tetap idelasi, revolusioner dan dekat dengan rakyat. Mak, persetujuan delegasi Indonesia di Den Haag, Belanda secara jelas mengubah segala pesan penting Pangsar Soedirman. Yang terjadi kemudian terjadi modernisasi besar-besaran di tubuh militer (yang tadinya sangat patriotik menjadi modern-profesional). Proses perjanjian tersebut kemudian bertahan selama tiga tahun (setelah keluarnya dekrit Presiden Soekarno) dan menemukan klimaksnya tatkala Muh. Hatta diangkat menjadi Perdana Menteri. Ia kemudian menelurkan kebijakan yang dinilai sangat mengubah wajah militer Indonesia kedepannya. Kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi Militer merupakan kebijakan perampingan angkatan perang. Dimana mantan pejuang laskar kerakyatan “dirumahkan”, sementara pejuang-pejuang eks-KNIL dan Peta justru mendapatkan tempat di birokrasi. Amir Syarifudin, salah satu tokoh yang menolak kebijakan tersebut dan perjanjian Renville, kemudian mendirikan Front Demokratik Rakyat. Bersama Musso dan gabungan tokoh-tokoh lain menculik Syahrir sebagai jaminan terhadap pemerintah. Hasil akhirnya malah kemudian terjadi pemberontakan PKI di Madiuan atas ketidaksetujuan dari politik Indonesia.

Menilik dari kebijakan-kebijakan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Soekarno merupakan pemerintahan transisi militer menuju era modernisasi tentara. Wajar jika kemudian seokarno melakukan perimbangan antara militer dan sipil dalam konstelasi NASAKOM. Serta menjadikan PKI sebagai underbow untuk menyeimbangkan menguatnya pengaruh TNI angkatan darat dalam tubuh birokrasi militer. Pemerintaha selanjutnya, yang merupakan pemerintahan penerima transisi militer. Malah kemudian menjadikan militer sebagai alat kekuasaan bernegara dengan doktrin terkenalnya dwif

Search site

Contact

Subandi Rianto INTEGRITAS Institute
Gubeng Kertajaya I1 No 21 Surabaya

Twitter: @subandirianto
FB : subandi rianto
Web: www.subandirianto.com
Pin BBM 7D3B001C

BEM Seluruh Indonesia

File Pra-Rapat Koordinasi Nasional Aliansi BEM Seluruh Indonesia Tahun 2012

formulir pendaftaran.docx (754631) proposal rakernas bem si 2012.pdf (608185) surat permohonan delegasi.pdf (394953)  

BEM SI dan Kemajuan Jawa Timur.

BEM SI dan Kemajuan Jawa Timur.

              Ada nuansa tersendiri, seminggu yang lalu saat saya bersama pengurus BEM KM UNAIR silaturahmi kepada Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo, M. Hum. Beliau secara sekilas memaparkan bahwasanya pemerintah sangat membutuhkan...